Petani Kelapa Sakit Kepala
18 Jun 2015
Banyak kelapa tidak diolah. Sejak 2001 hingga saat ini, petani kelapa terus merasakan sakit kepala. Ya, saat demo besar-besaran, bahkan terbesar, hingga saat ini kelapa dipandang sebelah mata. Hanya selesai dalam tataran konsep. Padahal, lebih dari setengah warga Sulut menggantungkan hidup mereka dari kelapa.
TERINGAT akan lagu �Rayuan Pulau Kelapa� karya Ismail Marzuki. Indonesia digambarkan sebagai pulau kelapa yang amat subur. Nyiur atau kelapa ditampilkan sebagai wakil dari potensi kekayaan dan keindahan yang dimiliki Indonesia.
Namun, lagu ini seperti terlupakan di Sulut. Potensi itu tidak dijaga dan dikembangkan. Padahal, kelapa bisa menjadi daya tarik investasi di Sulut. Otomatis bisa menjadi sumber pendapatan masyarakat. Apalagi, luas lahan untuk pengembangan kelapa, masih terbuka.
Sebagaimana penuturan Kabid IKM Disperindag Sulut Alwy Pontoh. Baginya kelapa masih menjanjikan. Dari sisi ekonomi, secara umum tidak masalah. Hanya diakui budidaya kelapa sangat kurang. Meski sudah ada peremajaan, namun konversi dari kebun kelapa menjadi perumahan atau jalanan, lebih tinggi. �Pohon kelapa nonproduktif harus diremajakan,� ujar Pontoh.
Disperindag, kata dia, membantu untuk pengolahan dan pengindustrian menjadi lebih bermanfaat. Dia akui petani masih kurang kreatif. �Sejauh ini, banyak masyarakat yang kurang kreatif. Seperti penggunaan kelapa yang harusnya bisa digunakan seperti hal lain. Butuh kesadaran masyarakat kelapa bukan hanya bisa digunakan untuk kopra atau sapu lidi. Banyak bisa dihasilkan dari kelapa,� sebutnya.
Sulut kata dia, hanya menghasilkan 20 produk dari kelapa. Sedangkan di Filipina bisa mencapai 100 produk. �Kita gunakan air kelapa kebanyakan untuk minuman dan Nata De Coco. Sedangkan di Filipina sudah dikembangkan hingga sirup dan lain-lain,� ungkapnya.
Hingga kini, lanjut Pontoh, Disperindag sudah melakukan bimbingan teknis untuk pengolahan kelapa. �Rencana tahun ini membantu dua kelompok pilot project di Mitra. Di Sulut harus ada peremajaan kelapa,� tekannya.
Pengakuan para petani, seperti di Kabupaten Bolmong. Komoditi yang sempat menjadi primadona di era 90-an ini semakin ditinggalkan. Tidak ada lagi keuntungan dalam mengelola komoditi. �Kalau mengelola kopra seringkali tidak dapat keuntungan, apalagi saat ini dijual dengan harga Rp300-400 ribu/100 kilogram," terang Ige, petani kopra di Desa Lalow, Kecamatan Lolak.
Diungkapkannya untuk mengelola kopra diperlukan tenaga ekstra. �Awalnya, kita harus memetik kopra di pohon yang tinggi. Kemudian diolah buahnya,� terangnya. "Prosesnya panjang dan memakan waktu. Selain itu beresiko tinggi," tambahnya.
Senada dikatakan Ketua Minat Produksi Tanaman Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Unsrat Dr Ir Edy F Lengkong MSi, banyak persoalan yang melilit kelapa saat ini. Salah satunya konversi lahan. Banyak pohon kelapa ditebang.
�Fenomena sekarang, laju konversi lahan kelapa jauh lebih tinggi ketimbang rehabilitasi. Sempat ada kebijakan �potong satu, tanam seribu�. Tetapi hingga saat ini pelaksanaannya nihil. Bila pun tetap dilakukan, lahannya di mana?� kritik Lengkong.
Apalagi, kata dia, Manado sedang berkembang sangat maju. Terutama dalam hal pembangunan. Permintaan kayu kelapa semakin tinggi. Terjadi alih fungsi lahan kelapa. Banyak godaan petani kelapa lebih memilih menjual kelapanya dalam bentuk pohon. �Contoh petani memiliki kebun kelapa 2 hektar. Dalam kurun 1 tahun, penghasilan maksimal kelapa hanya sebesar 1 ton. Maksimal hanya bernilai sekira Rp12 juta,� ujarnya.
Ini merupakan angka yang sangat minim. Belum lagi dipotong biaya produksi berupa distribusi dan lain-lain. �Angka 12 juta per tahun, merupakan nilai yang sangat kecil untuk biaya kehidupan, bahkan untuk petani sekalipun,� ujarnya.
Hal itu, kata dia, menjadi dasar petani mengalihkan lahan kelapa mereka untuk bertani yang lebih menjanjikan. �Seperti pengalihan lahan kelapa menjadi kebun jagung,� sebutnya. Ini juga dikarenakan, kelapa merupakan jenis tanaman tahunan. Kebanyakan petani mengalihfungsikan lahan kelapa mereka untuk tanaman yang berskala bulan panennya.
Kelapa di Manado, lanjut Lengkong, hanyalah kelapa warisan yang juga tinggal menunggu waktunya (mati). �Tidak ada lagi lokalisasi maupun perkebunan kelapa yang menanam kembali kelapa untuk rehabilitasi ke depannya,� sebutnya.
Dalam hal ini, menurutnya, pemerintah harus memiliki program nyata. Tegas menerapkan lahan penanaman kelapa. Yang apapun alasannya, tetap untuk meningkatkan konservasi terhadap penanaman kelapa.
�Sempat ada hasil produk turunan dari kelapa, berupa VCO (Virgin Coconut Oil), yang sempat menggerakkan kelompok-kelompok home industry. Namun, secara nasional, tidak dikawal dan akhirnya sekarang hilang,� ujarnya.
Padahal sebenarnya, kata Lengkong, banyak produk turunan yang bisa dihasilkan dari kelapa. Sayang tidak dikembangkan. Seperti Nata De Coco, yang juga sempat banyak diolah kelompok kerja. Juga produk asap tempurung cair yang berfungsi sebagai pengawet alami makanan, yang pernah dikembangkan di Minahasa Utara (Minut). �Namun juga masih skala kelompok. Dan kini juga redup karena tidak dikawal lebih lanjut,� tuturnya.
Ini merupakan kelemahan Sulut. Yaitu kurangnya pengetahuan mengelola produk turunan yang dapat dihasilkan dari kelapa. �Kurang adanya sosialisasi dari pemerintah juga tentunya. Yang petani Sulut tahu, hanyalah menjual kelapa dalam bentuk mentahan ataupun kopra saja,� kata Lengkong. Tidak adanya juga alternatif mengolah kelapa, lanjutnya, menjadi sandungan.
Perawatan kelapa juga menjadi penyebab munculnya paradigma malas mengolah lahan. Karena kebanyakan petani kelapa tidak merawat lahan mereka. Hanya tahu menunggu hasil saja. �Kalau dulu, sampai bagian bawah pohon kelapa rutin diparas. Hal tersebut untuk mengetahui bila ada kelapa yang jatuh. Kalau sekarang, dibiarkan rimbun,� ujarnya.
Menurut Lengkong, komplikasi persoalan itu, berakibat parah. Tidak bisa dipungkiri ke depannya, semboyan �Nyiur Melambai� akan pudar. �Manado yang berkembang ini, akan semakin mengikis pertumbuhan dan pengembangbiakan kelapa sendiri. Terlebih bila tidak diimbangi dengan program rehabilitasi,� sebutnya.
Yang masih akan menjadi daerah kelapa ke depannya, menurutnya, hanya daerah pegunungan. �Dikarenakan selain akses yang menghambat penyaluran dan produk turunan kelapa, pegunungan juga jarang tersentuh industri maupun perumahan seperti di Manado,� ujar Lengkong.
Senada disampaikan Dr Ir Tommy Lolowang MSi. Dosen Pertanian Unsrat ini mengakui, produktivitas kelapa beberapa tahun terakhir memang menurun. Penyebabnya pertama faktor umur. �Sebagian besar sudah lewat titik optimal dari tanaman kelapa itu sendiri,� ujarnya.
Kedua, faktor perawatan atau pemeliharaan. Tanaman kelapa perlu pemeliharaan dan perawatan. Pada periode tertentu, harus dilakukan pembersihan dan pemupukan. �Termasuk area tanaman kelapa yang harus terhindar dari alang-alang dan sejenisnya. Saat ini, petani sudah jarang melakukan pemupukan terhadap tanaman kelapa,� sebut Lolowang.
Ketiga, sistem tumpang sari yang menyebabkan perebutan unsur hara dalam tanah. Sehingga pertumbuhan kelapa juga terganggu. �Keempat faktor hama. Sampai saat ini, hama yang menyerang pucuk kelapa belum ada pestisida ataupun herbisida yang mampu menekan atau menghambat 100 persen,� jelas Lolowang.
Terakhir, diakibatkan peralihan fungsi petani kelapa ke jenis perkebunan yang lain. Serta peralihan areal lahan. Dari kelapa menjadi jenis tanaman yang lain.
Kata Lolowang, beberapa langkah strategis yang harus dilakukan. Salah satunya pengembangan varietas baru yang unggul, dengan melakukan persilangan-persilangan. �Produktivitas unggul yakni tahan terhadap penyakit dan cocok ditanam sesuai iklim di Sulut. Contohnya, seperti yang terdapat di areal �karpet biru� Minut. Di situ sedang dilakukan kebun percobaan,� ungkapnya.
Selanjutnya penguatan kelembagaan. Dalam hal ini, pelaku-pelaku yang terlibat dalam perkelapaan harus direstrukturisasi lagi. �Termasuk kelompok tani kelapa, koperasi, dan lainnya. Sehingga dapat mengoptimalkan kerja sama dengan berbagai mitra termasuk permodalan. Sehingga perkembangan produksi kelapa dapat berkembang dengan adanya mitra,� jelas Lolowang.
Ketiga, menurut dia, pemerintah harus meninjau kembali kebijakan. Termasuk bantuan kepada petani bibit, peralatan, dan lainnya dari pemerintah. �Harus dikaji kembali apakah efektif atau tidak,� tuturnya.
Sementara itu, Kepala Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian Sulut Prof Dr Haryono mengatakan, untuk mempertahankan Sulut sebagai daerah Nyiur Melambai, maka Badan Litbang Pertanian akan melakukan peremajaan kelapa melalui pembibitan kelapa unggul.
�Karena Sulut sebagai daerah penghasil kelapa terbesar di Indonesia, sudah barang tentu upaya-upaya peningkatkan kualitas produksi harus segera dilakukan. Salah satunya melalui peremajaan, karena pohon kelapa Sulut sudah banyak yang tua-tua,� aku Haryono. Karena itu, pihaknya akan meningkatkan pelayanan sehingga produktifitas bisa meningkat.
Wagub Sulut Djouhari Kansil menambahkan, program peremajaan kelapa mendesak. �Saya setuju pemeremajaan kelapa ini, agar simbol daerah Sulut yang terkenal dengan daerah Nyiur Melambai tidak hilang,� ujar Kansil.
Pemprov Sulut juga telah melakukan pembibitan kelapa lewat Dinas Perkebunan Sulut. �Dan ini terus berlangsung. Karena sebagaimana anjuran Pak Gubernur SHS, kelapa yang sudah berusia di atas 50 tahun bisa ditebang serta digantikan kelapa unggul yang disiapkan Pemprov Sulut,� tambah Kansil.
Sekprov Sulut Siswa Mokodongan juga meminta pusat, perkebunan kelapa sawit di Sumatera, bisa ditanam di Sulut. �Ada sekitar 40 ribu hektar di wilayah Bolmong Raya bisa dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit,� ujarnya.(***)
Sumber : http://manadopostonline.com/read/2015/06/18/Petani-Kelapa-Sakit-Kepala/9734
0 Response to "Petani Kelapa Sakit Kepala"
Posting Komentar