Menghirup harum peluang dari asap cair

Kamis, 14 April 2016

Tren pertanian organik dan gaya hidup sehat semakin masif di tengah masyarakat. Maklum, ancaman penyakit akibat gaya hidup yang kurang sehat kian banyak dan ganas.
Booming gaya hidup sehat bukan cuma melambungkan pamor bisnis seputar pangan organik, seperti sayur, buah, juga daging organik. Produk-produk pendukung pun turut terangkat.
Salah satu dari mereka adalah produk asap cair atau liquid smoke. Sesuai namanya, benda ini berbentuk cair.
Liquid smoke memiliki banyak fungsi, mulai dari pengawet makanan, bahan baku kosmetik, disinfektan, hingga menjadi penyubur tanah dan pupuk.
Di pasar saat ini, banyak penawaran asap cair mulai grade 1 hingga gradepremium. Semakin bening maka nilai jualnya makin tinggi.
Asap cair premium, sebagai contoh, banyak diburu oleh industri kosmetik. Harganya bisa mencapai Rp 400.000 per liter.
Setiap grade asap cair memiliki spesifikasi fungsi berbeda. Grade 3 biasanya banyak digunakan orang sebagai disinfektan pengusir lalat dan serangga.
Sedangkan grade 2 banyak digunakan untuk pengawet makanan seperti ikan bakar. Warna asap cair jenis ini bening kekuningan dan sudah tidak mengandung tar.
Adapun grade 1 memiliki warna lebih bening. Jenis ini banyak dipakai sebagai pengawet makanan mulai bakso, mi, dan lain-lain. Harga asap cair di pasar berkisar Rp 20.000 hingga Rp 45.000 per liter.
Salah satu produsen asap cair asal Malang, Jawa Timur, Yamin Massinay menuturkan, potensi permintaan produk asap cair meningkat seiring kemunculan larangan pemerintah tentang penggunaan formalin untuk pengawet makanan.
Yamin mulai membuat liquid smoke sejak 2014, memakai mesin produksi buatan sendiri. Mesin buatan Yamin bisa memproduksi asap cair sekaligus dalam tiga tingkat.
Begitu arang dibakar, hasilnya bisa langsung terbagi dalam tiga grade asap cair. �Proses pembakarannya tertutup sehingga asap yang dihasilkan tidak tercampur udara. Teknik ini menjaga kandungan asap cair,� kata dia.
Sebagian produsen masih memakai teknik manual, yaitu menyuling ulang asap cair grade 3 berkali-kali hingga menjadi grade 2 dan 1. Cuma cara ini, menurut Yamin, kurang efisien.
Permintaan asap cair produksi Yamin terbanyak berasal dari Sumatra. Mereka kebanyakan merupakan produsen mi basah yang membutuhkan pengawet selain formalin. Setiap bulan, Yamin bisa mengirim 6.000 liter asap cair ke pelanggannya di Sumatra.
Perusahaan ikan dan pengepul ikan juga menjadi target pasar Yamin. Asal tahu saja, liquid smoke bisa mengawetkan ikan hingga 6 bulan tanpa mengubah rasa ataupun tekstur.
Sofhal Jamil juga baru menekuni usaha ini dua tahun terakhir. Sejatinya, usaha pembuatan asap cair Jamil sebatas sampingan. Usaha utamanya adalah arang dan briket.
Walau masih sampingan, Jamil pernah mengirim lima ton asap cair ke Jepang. �Di Jepang, banyak dipakai untuk mandi antiseptik dan detoksifikasi,� terangnya.
Dalam satu bulan, Jamil yang berdomisili di Manado, Sulawesi Utara itu sekarang mampu memproduksi sekitar 100 liter asap cair. Pelanggan lokal kebanyakan adalah produsen makanan olahan.
Ada pula permintaan dari industri hotel dan restoran yang memakai asap cair untuk mengusir hama. Jamil memproduksi asap cair grade 1 dan 3 saja.
Pasar yang mulai tumbuh untuk produk asap cair ini turut pula memikat minat Ahmad Qomaruddin, pembuat asap cair di Yogyakarta.
Sedari awal, Ahmad cuma memproduksi asap cair food grade (aman dikonsumsi manusia). Maklum, pasar yang dia sasar adalah pelaku usaha dan produsen makanan.
Ahmad membuat sendiri mesin pengolah asap cair yang memakan modal hingga Rp 75 juta. Dia memilih bahan mesin dari stainless steel ketimbang memakai drum atau alat berbahan dasar besi. �Supaya kualitas asap cair tidak terkontaminasi karat di besi,� kata dia.
Kini, Ahmad mampu memproduksi asap cair sekitar 200 liter hingga 300 liter per bulan. Pelanggannya bukan cuma pelaku industri pangan.
Para petani karet juga banyak yang membeli asap cair produksinya. �Asap cair berguna mengurangi bau karet dan membuat karet lebih elastis,� terang Ahmad.
Bahan baku melimpah
Bila Anda meminati usaha asap cair, persoalan bahan baku mungkin tidak terlalu menjadi persoalan. Sebagai negara pesisir, pohon kelapa tumbuh subur di negeri ini. Pasokan batok kelapa melimpah.
Bahan baku asap cair biasanya dari kayu, bongkol kelapa sawit, sekam, tempurung kelapa, dan lain-lain. Tidak aneh bila asap cair kerap menjadi produk turunan para produsen arang atau briket.
Jamil yang memproduksi arang dan briket, per bulan menghabiskan sekitar 200 ton batok kelapa sebagai bahan baku. Nah, asap yang tercipta dari proses pembuatan dua produk itu, dia ubah memiliki nilai jual sebagai liquid smoke.
Adapun Ahmad membeli bahan baku asap cair dari pedagang kelapa di Yogyakarta. Harga batok kelapa tergolong murah, tak sampai Rp 1.000 per kilogram. Batok kelapa di pasar malah banyak yang menjadi limbah penjual kelapa.
Kendati tidak ada angka pasti pasokan bahan baku, dalam sehari Ahmad rata-rata mengolah 120 kilogram hingga 500 kilogram batok kelapa.
Setiap pembakaran 120 kilogram batok kelapa, Ahmad bisa menghasilkan 60 liter asap cair grade 3. Asap cair jenis ini akan dia suling lagi menjadi 30 liter liquid smoke tingkat 2 atau 20 liter grade 1.
Sedangkan Yamin biasa memproduksi 180 liter asap cair per hari dalam kondisi permintaan normal. Pasokan bahan baku juga selalu melimpah dan bisa didapatkan dengan harga murah.
Lantas, bagaimana dengan margin keuntungan bisnis ini? Yamin mengaku mengambil untung tidak banyak. �Sekitar 20% hingga 40%,� ujar dia.
Problem sertifikasi
Sekilas, usaha asap cair ini terlihat mudah. Bahan baku melimpah dan permintaan pasar mulai bertumbuh pesat. Namun, bukan berarti usaha asap cair tidak menghadapi kendala.
Jamil berujar, permintaan asap cair dari luar negeri cukup menjanjikan. Namun, ongkos kirim nan mahal membuat produk ini kurang ekonomis.
Maklum, basis produksi Jamil ada di Manado. Alhasil, dia masih fokus memenuhi permintaan pasar lokal sembari tetap membuka pintu bagi pembeli asing.
Memanfaatkan tren digital, produsen asap cair juga aktif mempromosikan produk mereka lewat jaringan internet. Selain membuat blog atau situs berisi serba-serbi informasi tentang asap cair, para produsen juga memasarkan lewat marketplace luar, seperti Alibaba atau Rakuten.
Penjualan melalui kanal online juga dibarengi pendekatan ke pelanggan potensial, mulai dari produsen makanan, pabrik pengolahan makanan hingga perusahaan ikan dan tempat lelang ikan.
Kendala lain adalah terkait sertifikasi dari Badan Pengawas Obat dan Minuman (BPOM). Mayoritas produsen asap cair, terutama yang food grade, belum mendaftarkan produk mereka ke BPOM. Dus, sertifikasi keamanan asap cair sejauh ini belum ada.
Jamil mengungkapkan, apabila asap cair didaftarkan ke BPOM, dia masuk kategorinya di kelompok perasa alami, alih-alih masuk bahan pengawet aman. Biaya sertifikasi BPOM juga tidak murah. Yamin mengaku pernah diminta sekitar Rp 120 juta untuk mengurus sertifikasi BPOM.
Padahal dengan uang sebesar itu, dia bisa memanfaatkannya untuk menggenjot kapasitas produksi. �Belum lagi, biaya Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang bisa terkena Rp 60 juta,� ujar dia.
Namun, meski belum mengantongi sertifikasi BPOM, para produsen asap cair optimistis, permintaan produk ini bakal terus melesat ke depan seiring tren pangan organik dan perkembangan bisnis kuliner. Produsen harus rajin mengedukasi pasar agar  permintaan asap cair semakin moncer.
Semoga juga, BPOM kelak menekan biaya perizinannya.
Tertarik mencoba?

Sumber : http://peluangusaha.kontan.co.id/news/menghirup-harum-peluang-dari-asap-cair

0 Response to "Menghirup harum peluang dari asap cair"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel