Melihat potensi dan proses pengeringan kopra di Kampung Domande

�Kalau kita ingin mengasap kelapa menjadi kopra, harus dalam jumlah banyak. Saya membutuhkan modal untuk membeli dari masyarakat di sini,� katanya.

Papua No. 1 News Portal | Jubi,
SUASANA  di sekitar nampak gelap. Keluarga Salestinus Gebze yang tinggal di Kampung Domande, Distrik Malind bekerja hanya ditemani lampu pelita. Bersama istri dan dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), Salestinus membuka usaha pengasapan kopra secara manual di samping kiri halaman rumahnya.
Sementara api terus menyala dari dalam tempat pemanggangan kopra. Sesekali, Selestinus Gebze maupun istrinya, bergantian memercikan air ke dalam tempat pemanggangan kopra kala nyala api mulai tinggi. Tujuannya agar kopra tidak hangus saat dicungkil dan dicincang.
Dalam kesibukannya, malam itu sekira pukul 19.00, Selestinus masih meluangkan waktu menerima kedatangan Jubi untuk diwawancarai seputar proses pengolahan kopra.
Kurang lebih satu jam, pria berbadan gemuk itu menceritakan pengalaman hidup serta suka duka mengolah kopra, yang merupakan satu-satunya penopang hidup keluarganya.
�Beginilah aktivitas saya setiap hari. Kalau tidak mengolah kopra, sudah pasti tak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga, termasuk biaya sekolah anak-anak,� kata Salestinus kepada Jubi Senin (5/2/2018).
Hampir semua warga Kampung Domande memiliki pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang tepi pantai sampai Kali Bian. Ketika buah kelapa sudah tua, dapat dipetik atau dipilih untuk diolah menjadi kopra.
Hanya saja, lanjut Selestinus, warga setempat tak mengolah kopra secara rutin. Terkadang mereka menjual kelapa kepada kepada seorang pengusaha dengan harga Rp1.000/biji. Nantinya pengusaha itu bekerjasama dengan pihak lain untuk mengupas dan mengasap kelapa menjadi kopra.
�Misalnya yang sedang saya lakukan pengasapan sekarang. Kelapa dibeli pengusaha dan dibawa ke sini untuk saya asapkan hingga menjadi kopra,� tuturnya.
Salestinus mengaku, dirinya memiliki banyak pohon kelapa. Hanya saja, buahnya tidak rutin dipetik, lantaran tuanya tidak bersamaan.
�Kalau kita ingin mengasap kelapa menjadi kopra, harus dalam jumlah banyak. Saya membutuhkan modal untuk membeli dari masyarakat di sini,� katanya.
Karena tak ada modal, dirinya bekerjasama dengan seorang pengusaha untuk membeli kelapa dari warga. Nantinya, ia yang mengolah setelah diambil dari pohon ke pohon menggunakan mobil pick up dan diantar ke rumah.
Kelapa diturunkan ke rumahnya dalam jumlah besar, hingga 1.500 buah. Dikupas dan dibelah. Selanjutnya, dinaikkan ke tempat pemanggangan selama tiga hari berturut-turut. Kelapa diasapi hingga menjadi kering. Lalu diturunkan dan dicincang menjadi kopra, dikemas dalam karung dan siap dibawa ke tempat penjualan.
�Memang di Kampung Domande, ada beberapa pedagang yang membeli dan menampung kopra. Harganya tidak menentu. Kalau tahun ini, sudah naik sedikit Rp6.000/kg. Sedangkan beberapa tahun sebelum, harga berkisar antara Rp 4.000 hingga Rp5.000/kg,� katanya.
Untuk kelapa sejumlah 1500 buah, bisa mendapatkan kopra sampai 470 kilogram. Salah satu kesulitan yang dialami adalah modal. �Ya, modal yang digunakan itu, nantinya dikembalikan setelah kopra ditimbang,� ungkapnya.
Dijanjikan mesin pengering kopra
Secara terpisah Kepala Kampung Kampung Alatep, Distrik Okaba, Jeina Maulan Gebze mengaku potensi kelapa di kampungnya cukup besar. Persoalan yang dihadapi adalah harga kopra. Beberapa tahun terakhir, harga kopra tak pernah ada kenaikan. Hanya berkisar antara Rp4.000/kg. Bahkan, pernah turun hingga Rp 2.500/kg.
�Akhirnya masyarakat tidak termotivasi mengolah kopra, karena harga tak sesuai dengan beban. Akhirnya mereka memilih masuk hutan untuk berburu,� katanya.
Diakui beberapa waktu lalu, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Merauke pernah memprogramkan pengadaan mesin pengasapan kopra.
Sebagai tindaklanjutnya, jelas Jeina, telah dibangun tempatnya. Sesuai janji pejabat dari dinas, dalam rentan waktu sebulan, mesin sudah tiba di Kampung Alatep.
Namun sampai sekarang, katanya, mesin tak kunjung tiba. �Tidak tahu kapan mereka antar. Masyarakat di kampung sedang menunggu. Saya jamin kalau mesin ada di kampung, masyarakat akan menekuni pekerjaan dengan mengolah kopra secara kontinyu,� ujarnya.
Dia berharap agar Pemerintah Kabupaten Merauke memperhatikan juga harga kopra. Karena dari satu distrik dengan distrik lain, harganya tidak sesuai.
�Kami berharap ada standard harga dari pemerintah yang dikeluarkan. Sehingga para penampung di kampung, tidak seenaknya membeli kopra dengan harga tak sesuai,� pinta dia.
Kepala Distrik Okaba, Fransiskus Kamijay mengakui warganya sering mengolah kelapa menjadi kopra secara musiman. Hal itu disebabkan harga jual kopra yang sangat rendah. �Harga kopra yang dijual pedagang di setiap kampung, tidak sama,� ujarnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Merauke, Urbanus Kaize menolak untuk memberikan komentar. �Saya belum lama diberikan tugas dan tanggungjawab sebagai pelaksana tugas di kantor ini, sehingga tak bisa berbicara banyak,� katanya.
Ditanya harga kopra yang dikeluhkan warga, Urbanus meminta waktu beberapa hari kedepan terlebih dahulu. �Nanti saya akan berikan penjelasan setelah berkoordinasi dengan kepala bidangnya,� saran dia. (*)

Sumber : http://tabloidjubi.com/artikel-13804-melihat-potensi-dan-proses-pengeringan-kopra-di-kampung-domande.html

0 Response to "Melihat potensi dan proses pengeringan kopra di Kampung Domande"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel